
Viral BOBIBOS bikin heboh jagat otomotif Indonesia! Siapa sangka jerami jadi bensin loh! yang biasanya dibakar habis setelah panen tiba-tiba diklaim bahkan oktan setara Pertamax Turbo. Kami sendiri awalnya skeptis pas pertama kali denger berita ini di media sosial. Jerami? Serius? Tapi makin banyak info yang beredar, makin penasaran juga nih sama inovasi yang katanya hasil karya anak bangsa ini.
Bobibos atau singkatan dari Bahan Bakar Original Buatan Indonesia Bos resmi diperkenalkan ke publik pada 2 November 2025 lalu di Jonggol, Bogor. Produk ini dikembangkan oleh M. Ikhlas Thamrin bersama tim dari PT Inti Sinergi Formula. Yang bikin heboh, mereka mengklaim bisa bikin bahan bakar dari jerami dengan nilai oktan RON 98 dan emisi gas buang yang jauh lebih rendah dari bensin biasa. Gila gak tuh?
Nah di artikel kali ini, kita kupas tuntas soal fenomena Bobibos ini. Dari mulai prosesnya gimana, apa beneran jerami bisa jadi bahan bakar, sampai pendapat para ahli dan pemerintah. Soalnya ini bukan sembarangan isu, banyak yang antusias tapi juga banyak yang ragu. Yuk simak penjelasan lengkapnya!
Pertanyaan yang paling sering muncul pasti ini: kok bisa jerami yang kering gitu jadi bensin? kamu juga awalnya mikir gitukan? Tapi ternyata secara ilmiah, hal ini memang mungkin banget, bahkan sudah dilakukan di berbagai negara.
Jerami padi itu mengandung selulosa sekitar 39 persen dan hemiselulosa 27,5 persen. Nah, kedua zat ini bisa dipecah menjadi gula sederhana lewat proses yang namanya hidrolisis. Setelah jadi gula, baru deh difermentasi pakai bakteri khusus kayak Saccharomyces cerevisiae selama 48 sampai 72 jam. Hasilnya adalah etanol selulosa, yang ini jenis bahan bakar nabati generasi kedua. (refrensi)
Yang menarik dari Bobibos, mereka diklaim punya teknologi khusus yang bikin proses ini lebih efisien. Menurut keterangan dari tim Bobibos, mereka pakai serum dan enzim biokimia yang dirancang khusus untuk memecah struktur selulosa jerami. Setelah difermentasi, etanol yang dihasilkan dimurnikan pakai teknologi reverse osmosis sampai kemurniannya di atas 99 persen. Baru deh ditambahkan aditif nabati buat ningkatin performa sampai setara RON 98.
Dari satu hektare sawah yang menghasilkan sekitar 9 ton jerami, diklaim bisa menghasilkan 3.000 liter bahan bakar Bobibos. Kalau ini beneran, potensinya gede banget mengingat Indonesia punya jutaan hektare sawah yang setiap tahun panen.

Mungkin banyak yang mikir Bobibos ini hal baru yang luar biasa. Tapi sebenarnya, teknologi biofuel dari jerami atau etanol selulosa itu sudah dikembangkan di berbagai negara sejak lama. Cuma memang implementasinya masih terbatas karena tantangan teknis dan ekonomisnya yang gak gampang.
Contohnya di Eropa, perusahaan kimia Swiss bernama Clariant AG udah buka pabrik di Rumania sejak 2021 untuk produksi biofuel canggih dari limbah pertanian termasuk jerami. CEO mereka waktu itu bilang kalau etanol dari jerami jadi bensin ini bisa jauh lebih ramah lingkungan dibanding etanol generasi pertama yang dibuat dari jagung atau tebu.
Di Amerika Serikat, riset soal etanol selulosa juga udah jalan lama. Bahkan Dewan Pertahanan Sumber Daya Nasional AS dan Persatuan Ilmuwan Peduli pernah bilang kalau etanol selulosa punya potensi setara hidrogen untuk jadi sumber energi masa depan sektor transportasi. Kandungan energi bersihnya diklaim tiga kali lebih tinggi dari etanol jagung dengan emisi gas rumah kaca yang jauh lebih rendah.
Jadi teknologi dasarnya memang sudah ada dan terbukti bisa jalan. Yang jadi pertanyaan sekarang: apakah Bobibos benar-benar punya terobosan teknologi yang bikin prosesnya lebih efisien dan ekonomis? Atau cuma replikasi teknologi yang udah ada? Ini yang masih jadi pertanyaan besar.
Begitu viral di media sosial, pemerintah dan kalangan akademisi langsung kasih respons. Dan ternyata, tanggapannya cukup hati-hati meskipun tetap apresiatif.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Laode Sulaeman, bilang kalau dia mengapresiasi inovasi anak bangsa ini. Tapi dia tegas menyatakan bahwa Bobibos harus melalui serangkaian uji kelayakan yang ketat sebelum bisa dipasarkan ke masyarakat. Proses pengujian BBM baru itu gak main-main, butuh waktu minimal 8 bulan.
Yang perlu diuji bukan cuma soal performa dan nilai oktan aja. Ada banyak aspek lain yang harus dicek: stabilitas bahan bakar dalam berbagai kondisi, dampaknya ke mesin dalam jangka panjang, emisi yang dihasilkan, sampai keamanan penyimpanan dan distribusinya. Semua ini harus lolos uji di lembaga resmi kayak Lemigas atau Balai Besar Teknologi Energi.

Laode juga meluruskan kabar simpang siur yang beredar. Dia bilang Bobibos baru mengajukan uji laboratorium, bukan sudah dapat sertifikasi. Hasil ujinnya pun masih dalam kesepakatan tertutup antara penemu dan lembaga penguji, jadi publik belum bisa verifikasi sendiri.
Dari kalangan akademisi, dosen Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB, Tri Yuswidjajanto Zaenuri, juga kasih peringatan. Dia bilang masyarakat harus berhati-hati dengan klaim bahan bakar alternatif kayak gini. Harus ada pengujian yang komprehensif dulu sebelum dipakai massal, karena kalau sampai ada masalah di mesin kendaraan masyarakat, risikonya besar.
Bahkan BRIN juga angkat bicara dan menawarkan kemitraan untuk pengembangan lebih lanjut. Mereka menjelaskan kalau BRIN sendiri udah lama meneliti kemungkinan jerami jadi bahan bakar, tapi masih dalam tahap menjadi etanol, belum langsung jadi bensin atau solar. Proses dari etanol ke biohidrokarbon yang setara bensin butuh teknologi sangat maju dan sampai sekarang belum menemukan titik ekonomisnya.

Kami pribadi optimis sama inovasi kayak Bobibos ini. Indonesia punya potensi bahan baku jerami yang melimpah. Tiap tahun jutaan ton jerami dihasilkan dari panen padi, dan kebanyakan cuma dibakar atau dibusukkan begitu aja. Kalau ini bisa dimanfaatkan jadi bahan bakar, banyak banget keuntungannya.
Tapi ya gak bisa dipungkiri, tantangannya juga gede. Dari sisi teknologi, harus dipastikan prosesnya bener-bener efisien dan gak merusak mesin. Dari sisi ekonomi, harga produksinya harus kompetitif dengan BBM yang ada. Dari sisi pasokan, harus ada sistem logistik yang memastikan jerami bisa dikumpulkan dengan efisien dari berbagai daerah.
Belum lagi soal regulasi dan standarisasi. Pemerintah harus bikin aturan yang jelas tapi gak menghambat inovasi. Dan yang paling penting, harus ada transparansi data dan hasil uji yang bisa diverifikasi publik.

Ini pertanyaan sejuta umat. Sayangnya, jawabannya masih belum jelas. Founder Bobibos, M. Ikhlas Thamrin, dalam video di Instagram resmi mereka bilang kalau saat ini mereka masih dalam tahap persiapan produksi massal. Mereka sedang bangun piloting manufaktur di Jawa dan berharap nantinya pabrik bisa tersebar di berbagai provinsi.
Tapi ingat, selain soal produksi, mereka juga harus lolos semua uji kelayakan dari pemerintah dulu. Prosesnya minimal 8 bulan seperti yang dijelaskan Kementerian ESDM. Jadi kalau dihitung-hitung, paling cepat mungkin akhir 2026 baru bisa mulai dipasarkan, itupun kalau semua berjalan lancar.
Wakil Gubernur Jawa Barat Erwan Setiawan juga bilang pihaknya ingin lihat dulu kajian ilmiahnya secara komprehensif. Mereka gak mau buru-buru karena ini menyangkut keamanan publik. Yang penting semuanya benar-benar ramah lingkungan dan aman dipakai.
Jadi buat kalian yang udah penasaran pengen coba, sabar dulu ya. Biar prosesnya berjalan sesuai aturan dan hasilnya beneran aman. Daripada buru-buru terus bermasalah, mending tunggu sampai benar-benar siap.
Ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari fenomena viral Bobibos ini.
Yang paling penting, fenomena ini menunjukkan bahwa masa depan energi kita gak harus selalu tergantung pada fosil. Ada banyak alternatif yang bisa dikembangkan dari sumber daya lokal kita sendiri. Tinggal gimana kita serius menggarapnya dengan pendekatan yang tepat.
Jadi viral BOBIBOS ini emang iya, jerami bisa jadi bahan bakar. Secara ilmiah teknologinya udah terbukti di berbagai negara. Yang jadi pertanyaan sekarang adalah apakah Bobibos punya terobosan yang bikin prosesnya lebih efisien dan ekonomis dibanding yang udah ada.
Kita harus tetap optimis tapi juga realistis. Apresiasi untuk inovasi anak bangsa, tapi tetap kritis dan tunggu hasil uji kelayakan yang transparan. Jangan sampai antusiasme berlebihan bikin kita lupa sama pentingnya standar keamanan dan kualitas.
Buat kalian yang penasaran sama perkembangan teknologi otomotif dan bahan bakar, ini momen yang menarik buat diikuti. Siapa tau beberapa tahun lagi kita beneran bisa ngisi bensin dari jerami di SPBU terdekat.
Nah, sambil nunggu Bobibos resmi bisa dipakai, kenapa gak cobain sensasi berkendara dengan mobil-mobil modern yang udah ramah lingkungan? Di Harent ada banyak pilihan mobil terbaru dengan teknologi mesin efisien dan emisi rendah. Kalian bisa ngerasain sendiri gimana rasanya berkendara dengan kendaraan yang lebih eco-friendly. Daripada cuma penasaran terus, mending langsung action dan cobain dulu. Siapa tau abis nyoba, kalian jadi makin aware sama pentingnya kendaraan ramah lingkungan dan makin semangat dukung inovasi kayak Bobibos ini. Yuk langsung cek Harent dan rasain sensasi berkendara yang lebih bertanggung jawab ke lingkungan!
Saat ini belum ada komentar