Gaya hidup fleksibel bukan cuma sekadar tren kekinian yang sering muncul di media sosial. Bagi sebagian orang, ini sudah jadi cara hidup yang nyata bekerja dari mana saja, ngopi sambil meeting, atau bahkan merancang itinerary perjalanan sembari menyelesaikan presentasi. Tapi pertanyaannya: apakah gaya hidup ini benar-benar menguntungkan? Atau justru jadi jebakan multitasking yang melelahkan?
Di era pasca-pandemi seperti sekarang, banyak profesional muda terutama Gen Z dan milenial beralih ke gaya hidup fleksibel. Bukan hanya soal work from home, tapi juga work from anywhere. Bekerja sambil travelling, ngantor dari coffee shop, bahkan menjadikan mobil pribadi sebagai “kantor berjalan” jadi hal yang makin umum.
Gaya hidup fleksibel mengacu pada pola hidup yang memberi kebebasan dalam mengatur waktu, tempat, dan cara menjalani aktivitas harian, terutama pekerjaan. Dalam konteks ini, kamu nggak lagi terikat sama jam 9-to-5 atau meja kerja di kantor. Yang penting, pekerjaan selesai—dari mana pun, kapan pun.
Gaya hidup ini juga meluas ke pilihan transportasi, tempat tinggal, bahkan gaya konsumsi. Sewa mobil harian untuk dinas dadakan? Bisa. Pindah-pindah kota karena kerja remote? Nggak masalah. Semua tentang fleksibilitas dan kontrol atas hidup sendiri.
Salah satu alasan utama orang beralih ke gaya hidup fleksibel adalah untuk mendapatkan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Bisa kerja dari tempat yang bikin kamu nyaman—entah itu di taman, coworking space, atau vila di Ubud—jelas memberikan rasa damai dan semangat yang beda.
Dengan mobilitas yang makin mudah (terima kasih ke teknologi dan layanan transportasi on-demand), orang bisa berpindah tempat tanpa banyak hambatan. Fleksibilitas transportasi juga jadi poin penting. Nggak heran kalau sekarang banyak orang lebih pilih sewa mobil daripada punya sendiri, karena lebih simpel dan bebas komitmen panjang.
Meskipun kesannya gaya hidup ini mahal, justru banyak yang merasa pengeluarannya jadi lebih efisien. Contohnya, kamu bisa tinggal di kota dengan biaya hidup rendah tapi tetap kerja untuk perusahaan di Jakarta. Atau hanya menyewa mobil saat butuh bepergian jarak jauh. Ini semua bagian dari smart lifestyle yang mendukung fleksibilitas.
Meski terdengar menyenangkan, gaya hidup fleksibel juga nggak lepas dari tantangan. Yang paling sering dirasakan adalah:
Atur semua jadwal kerja, meeting, dan waktu istirahat kamu. Jangan sampai karena fleksibel, semuanya jadi kabur dan overworking.
Kalau sering berpindah tempat, pertimbangkan untuk sewa mobil bulanan atau harian. Ini bisa lebih efisien daripada punya mobil pribadi, terutama buat digital nomad yang nggak selalu stay di satu kota.
Fleksibel bukan berarti kamu harus aktif terus. Ambil waktu untuk recharge, entah itu dengan staycation sebentar, nongkrong tanpa gadget, atau sekadar jalan kaki pagi.
Bisa di hotel, café, bahkan di dalam mobil (dengan WiFi portable). Intinya, punya area khusus yang bikin kamu fokus kerja, walau lokasinya berubah-ubah.
Jawabannya: tidak selalu.
Bagi mereka yang butuh struktur atau sulit bekerja tanpa arahan langsung, gaya hidup ini bisa melelahkan secara mental. Tapi untuk kamu yang suka kebebasan, cepat beradaptasi, dan menikmati ritme kerja sendiri, gaya hidup ini bisa jadi bentuk kebahagiaan yang otentik.
Refrensi : Journal UK
Gaya hidup fleksibel bukan cuma gaya hidup, tapi cerminan dari cara berpikir yang lebih terbuka terhadap perubahan. Di satu sisi, ini memberi kebebasan dan keleluasaan dalam bekerja dan menjalani hidup. Di sisi lain, menuntut tanggung jawab lebih besar dalam mengatur waktu, energi, dan fokus.
Dengan keseimbangan yang tepat, gaya hidup ini bisa jadi jalan menuju produktivitas yang sehat dan hidup yang lebih bermakna—tanpa harus terikat pada satu tempat. Jalan boleh ke mana aja, asal tetap tahu tujuan.
Saat ini belum ada komentar